Wednesday 31 March 2010 | By: Nathan

Kisah Setitik Embun

Pagi itu setitik embun berkisah kepadaku. Tentang malam yang telah diarunginya hingga subuh datang, tentang fajar yang mengiringinya hingga matahari tersenyum pada pagi, tentang kabut yang masih setia menunggunya hingga terik memisahkan, dan tentang cinta dedaunan yang mau menerima ia apa adanya.

Walau seringkali ia menjadi begitu goyahnya ketika matahari mulai lekat menatapnya, dan menghirup tiap molekul jiwanya hingga tiada tersisa kecuali jejak basah yang mulai mengering bersama senyuman matahari senja. Namun masih, tiada pernah memuai cintanya.

Pernah, suatu masa. Ketika pagi belum jatuh sempurna dan matahari belum bisa menyeruak dari dinding langit. Setitik awan itu mengikrarkan cintanya pada sehelai daun. Digenggamnya jemari jentik daun yang pemalu itu. Namun tiba-tiba, terik yang tersenyum licik itu mencoba memisahkan mereka. Maka segeralah sang embun menyerapkan sejuknya di hamparan daun yang sehelai itu. Lalu didekapnya, erat. Sementara terik yang licik itu semakin menyunggingkan senyumnya. Namun entah bagaimana, walau segenap jiwanya telah terpupuskan, namun masih, setitik embun itu meninggalkan jejak basah cintanya. Dan masih, teguh ikrarnya, setitik embun itu tiada pernah memuai cintanya.

Dan kini, kisah klasik itu berulang kembali. Di pagi yang masih berkabut ini, setitik embun itu mulai menitikkan cinta pada sehelai daun yang masih setia, menerima ia apa adanya.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 comments:

Post a Comment